Apa sih rubber duck debugging, lalu apa sih hubungannya dengan curhat (curahan hati)? Mungkin itu pertanyaan pertama yang terlintas di sebagian besar orang yang khususnya yang belum mengetahui apa itu rubber duck debugging. Rubber duck sendiri ialah boneka bebek yang terbuat dari karet yang biasa dipakai mainan anak kecil untuk menemaninya mandi, untuk sebagian orang rubber duck ini menjadi benda lucu yang dipakai menjadi mainan genggam yang dibawa kemana-mana, accessories bahkan pajangan di meja kerja. Lalu apa rubber duck debugging itu? Konon dahulu kala (beuuh) ada seorang programmer yang menjelaskan baris demi baris source code dan metoda pemprograman yang dia gunakan kepada boneka bebeknya saat mengalami masalah seperti bug, error atau response yang tidak diharapkan lainnya yang tidak kasat mata. Metode monologue (percakapan satu arah) ini terbukti bekerja dan menjadi salah satu metoda standar debugging. Saya sendiri sering melakukan rubber duck debugging, namun bedanya dengan teman kerja, sebagian besar akar masalah dan solusi dapat ditemukan dengan sendirinya bahkan sebelum pendengar memberi pendapatnya.

Rubber ducking debugging menjadi semakin baik disaat pendengar memiliki pengalaman dibidangnya dan memberikan pertanyaan yang kritikal terkait dengan masalah yang tengah dihadapi dan membuat pembicara menyadari kesalahannya kemudian menemukan solusi yang tepat. Lalu bagaimana dengan curhat? Curhat dilakukan disaat pembicara memiliki masalah dalam kehidupannya, apakah itu ekonomi, asmara dan sebagainya. Namun berbeda dengan rubber duck debugging , tidak banyak curhat yang membuahkan solusi yang tepat, mengapa demikian?

  • Rubber duck debugging fokus pada intropeksi diri, menceritakan tentang apa yang dilakukan / source code apa yang ditulis kedalam program, sedangkan sebagian besar curhat fokus terhadap response atau yang dialami oleh pembicara, menceritakan orang lain yang berbuat tidak diinginkan kepada dirinya dan sebagainya bukan apa yang dilakukan si pembicara sebelum menerima response yang tidak diinginkan.
  • Percakapan menjadi sebuah dialog, pendengar terlalu banyak memberi pendapat yang membuat pembicara lupa untuk fokus intropeksi diri, ditambah lagi pendengar tersebut bukan seorang  yang cukup berpengalaman dengan hal yang dialami pembicara, dan pada dasarnya masalah yang berurusan dengan manusia (yang notabenenya unik) tidak ada yang benar-benar bisa memahami sepenuhnya, apalagi orang yang tidak berhadapan langsung dengan masalah tersebut. Seorang psikolog sekalipun lebih banyak diam dan sesekali bertanya kepada pasiennya dibanding banyak bicara.

Jadi bagi yang ingin curhat yang bermutu, ada baiknya fokus intropeksi terhadap apa yang dilakukan sebelum menerima response yang tidak diinginkan dan pilih pendengar yang sebaik mungkin. Ingatlah, hal baik maupun buruk yang menimpa kita sebagian besar ialah disebabkan oleh perbuatan diri kita sendiri (!) Semoga bermanfaat.

Subscribe & fast response :